01 Mei 2017

Merajakan Permaisuri (Part 1)


by. Defi Sulistyana bunda Alza


Disuatu senja, tangan kecil itu erat menggenggam ku,

Ia hanya terdiam terpangku dalam hangatnya tubuhku.

Laksana biduan yang enggan mementaskan syair merdunya,

Langit sendu terasa menghampirinya.


“dek sasa sayang… mau maem apa?”
ia menggelengkan kepalanya saat  berbagai menu disodorkan untuk dipilih.
Seakan tunduk pasrah pada badannya yang sedang cukup tinggi suhunya.

Saat itu, saya sedang hamil anak kedua, hamil muda untuk kali kedua, saya berfikir akan semakin kuat, tak ada lagi sakit punggung, tak ada lagi mual karena telat makan, karena mengingat hamil yang pertama, saat sudah memasuki usia 9bulan pun, saya masih saja akan muntah hebat jika terlambat makan setengah jam. Pola makan benar-benar harus disiplin. Ternyata hamil keduapun sama, Alhamdulillaah Ya Robb..

Jabang bayi calon adek si kk kala itu berumur sekitar 2.5 bulan, kami tinggal bersama orangtua saya di Solo.
Menunggu kepulangan ayah, saya mencoba merayu si kk untuk mau makan, seingat saya, kala itu suhu tubuhnya hampir 39dc. Sesekali ia masih mau makan soto buatan ibu saya, tapi karena memang badannya sedak tak bisa diajak berkompromi, ia memilih untuk lesu.
Menjelang Maghrib, ayah datang dan kamipun bersiap untuk ke dokter karena ini sudah hampir 72jam. Kami melaju ke salah satu Rumah Sakit Swasta di Daerah Slamet Riyadi Solo, menyusuri jalanan yang basah diguyur hujan, dalam perjalanan kami berdzikir melangitkan doa dan harapan agar kk diberi kesembuhan.
Yes, sampai sana, sesuai prediksi saya, kk diminta cek lab, aduh, saya takut kalau-kalau ia menangis, lalu saya tepis pikiran itu dan segera saya sounding diri saya dan kk,
“sayang, bobok disini ya, nanti diencus sebentar, trus dapat hadiah”
“iya bunda, adek mau balon” pintanya kala itu.
Dua Suster jaga saat itu, dibuat heran oleh kk, karena melawanpun ia tidak, dan saat diambil darahnya pun, kk tak tegang sedikitpun, dan biidznillaah juga tidak menangis.
“Maasyaa Allah, tabarokallaahu fiik nak”, bisik saya padanya. “terimakasih ya sayang, udah mau nurut”

Ucapan seperti itu saya harap lazim diterapkan dalam setiap keluarga. Ucapan maaf dan terimakasih tidak boleh memandang umur. Jadi, bukan hanya anak yang harus minta maaf saat ia ada salah pada orangtuanya, tetapi saat orangtua ada salah, ia juga harus berani minta maaf pada anaknya.

“kamu pinter banget sih, nih bude kasih balon..” kata susternya
“alhamdulillaah, biidznillaah sus, terimakasih..” timpal saya.

Sebenarnya, saya meyakini, jika setiap orangtua tidak pernah memulai drama kolosal berupa pengerdilan keberanian, atau disebut menakut-nakuti, maka anak juga tidak akan takut dokter, suntikan, dsb. Tetapi terkadang ini masih membudaya, saat anak tidak segera makan, maka akan ditakuti untuk diperiksakan dokter, disuntik dokter, maka PFC (prefrontalcortexs) nya akan mengirim informasi berupa ketakutan dan akan disimpannya dalam limbyc.
Bukan hanya urusan dokter dan suntik, tapi juga kucing, anjing, hantu, dsb. Ini sangat sering digunakan untuk menakuti anak.
Tanpa sadar, kita orangtua membully anak dan menciutkan nyalinya hanya untuk urusan kepuasan kita. Padahal, hal yang sering dianggal sepele ini tidak akan kita rasakan efek jangka pendeknya, tapi berjangka panjang dikehidupannya nanti.

Merajakan permaisuri, kita tahu raja itu serba enak kan hidupnya? tapi jika menelisik lebih dalam, raja itu hidup dalam sebuah keteraturan dan kedisiplinan tingkat tinggi. Bahkan urusan makan dan jalan saja rumit sekali rumusnya.
Merajakan permaisuri, anak perempuan yang didisiplinkan sesuai dengan standar umurnya, bukan untuk dibebaskan berekspresi hingga terkadang salahpun dianggap hal biasa karena masih anak-anak. Jadi, bukan permaisuri yang dijadikan raja, tapi bagaimana mendidik permaisuri selayaknya raja. Harapan menjadi raja, pemimpin, setidaknya memimpin dirinya dan anak-anaknya kelak.

Kami pulang, dengan hasil negatif untuk typus dan DB, Alhamdulillaah.

Kk al, tumbuh menjadi pribadi yang mandiri di usianya yang belum ada 2tahun, Allah memilihnya untuk ditarbiyah sejak ia masih sangat belia. Hidup nomaden, dan menjadi calon kk saat ia masih sangat layak disebut adek.

Anak-anak itu, adalah guru terbaik orangtuanya. Apalagi anak pertama, ia akan menjadi role model pendidikan kita. Tempat kita training menjadi orangtua, jadi jangan menyiakannya dengan sumpah serapah, bully-an, dan kata-kata negatif lainnya, setidaknya saat ini push diri kita untuk investasi dunia akhirat.

Wallahu a’lamu 😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN RASA GAMES LEVEL 5 KELAS BUNSAY #2 KOORDI IIP by. Defi Sulistyana “Yang Tak Terlupakan” Bismillaah, Ramadhan seakan ...