07 Mei 2017

Her Name is Alifa


Her name is Alifa Izzatunnisa, anak pertama kami, yang menjadi kakak saat usianya masih sangat belia, 2tahun. Iya, tepat dua tahun usianya, si adek zahrani lahir, hadir menemaninya berpetualang.

Bagi sebagian orang, ini adalah waktu yang very hectic buat seorang ibu, punya bayi (lagi) saat sulungnya masih batita, kata orang jawa, masih manja-manjanya. Hemm, lalu saya terpikir, memang kalau sudah punya adek, sudah tidak boleh dimanja lagi? 😊 berarti ini akan kembali ke kamus keluarga masing-masing tentang memaknai kata ‘manja’.

Kembali ke Alifa, coretan ini memang saya sengaja untuk mengisahkan tentangnya. Gadis kecil, yang lembut hatinya, santun tuturnya, dan tentu banyak gerak!.

Loh, koq banyak gerak disandingkan dengan 2 kalimat positif? trus, siapa yang bilang banyak gerak itu kalimat negatif? justru bagi saya, itu sangat positif. Cuman terkadang, memang kata itu sering disandingkan dengan kata ‘ndridis’, ‘kakean polah’, lebih-lebih ‘hiperaktif’.
Lagi-lagi, semua ini masalah perspektif.

Akhir-akhir ini, lebih tepatnya sekitar 4 bulan belakangan, saya mulai terbiasa ada orang yang melabel kakak dengan segudang kalimat negatif, sebut saja n*kal, ringan tangan, ‘clengkre’ (ini bahasa jawa), dan sebagainya. Saya, mencoba menjadi orang yang bijak karena saya memahami semua yang mengatakan itu tidak berada bersama kakak alifa 24jam non stop, jadi yang mereka lihat adalah sisi-sisi kurang baiknya saja, oleh karena itu, semua itu cukup saya jawab dengan senyuman dan doa dalam hati, agar kakak selalu dijauhkan dari fitnah dunia, dan diberi keistiqomahan. Saya tidak ingin membebani mereka yang mungkin hanya sekali dua kali bertatap muka dengan alifa, terlebih jika mereka bukan bagian dari keluarga besar kami.

Yang mereka tahu, kakak alifa itu, selalu ringan tangan pada adeknya, padahal, si kakak ini, adalah pahlawan bagi adeknya, bagaimana tidak, ia rela dijambak adeknya tanpa melakukan perlawanan karena ia tahu adek masih kecil. Ia yang selalu membersamai adek, menyuapi adek saat bundanya menjemur pakaian di backyard. Ia yang selalu menenangkan adeknya saat si adek nangis lantaran di tinggal bunda memasak, dengan sigap ia mengambil mainan dan memberikan pada adek, jika adek belum berhenti nangis, ia akan mengajaknya cilukba, bernyanyi, dan pok ame-ame, tangannya begitu lihai menangkap adeknya yang hampir terjatih saat berdiri di dekat meja. Saat bundanya sedang sholat dan adeknya terbangun, ia rela meninggalkan segambreng mainannya dan mendekati adeknya seraya menenangkan adeknya “udah..udah.. cup cup.. dekk, ada kakak ini hlo, kakak temenin, bentar yaa, bunda lagi sholat, hloo udah mau siap bunda sholatnya, cup yaa, ini kakak kasih mainan…” saat adek masih saja menangis, kakak tak akan kehabisan akal untuk menghentikan tangisnya.

Saya, sebagai ibunya, yang ia panggil bunda, tentu yang lebih paham dari orang lain, karena saya yang dari melek mata ke merem mata, selalu membersamainya, karena saya tidak bekerja di ranah domestik tentunya.

Lalu, kenapa dia bersikap seperti itu? sikap-sikap yang dianggap orang negatif?. Ya, karena mereka lupa, kakak alifa tetaplah masih anak-anak walaupun sudah bergelar kakak, umurnya bahkan belum genap 3 tahun saat ini, yang ia inginkan hanyalah perhatian, jika setiap orang yang bertemu hanya memperhatikan adeknya, maka ia akan melakukan hal-hal yang bisa menyingkap perhatian.

She’s just a kid.

Dia bahkan belum bisa memberikan label benar dan salah pada setiap yang ia lakukan, ia belum paham hukum sebab akibat, ya karena ia masih kecil.
Justru, orang dewasalah yang seharusnya paham akan kondisi ini. Akan tetapi, sekali lagi, saya tidak pernah menuntut setiap orang yang bertemu dengan Alifa, untuk paham siapa dan bagaimana Alifa.

All they need’s a proof.

Komentator, akan tetap menjadi komentator saat mereka tidak terjun sebagai aktor. Jadi, saya memilih untuk tidak pening. Apalagi, ada suami saya yang akan selalu support saya. Munafik jika saya bilang saya tidak sakit hati, saya yakin, moms yang punya kondisi mirip saya, akan sangat memahami. Tetapi ada seorang partner yang selalu mengingatkan saya pentingnya husnudzon pada Allah.  Bahwa setiap tempaan ini, akan berakhir baik jika kita memilih sikap yang baik, dan akan berakhir tidak baik jika kita memilih sikap yang tidak baik.

We created our own desition.

Cerita ini, saya harap akan menjadi pesan bagi setiap orangtua, bahwa setiap anak itu anugrah yang unik. Ia mewariskan kearifan kita, maka mengajarkan kebaikan, tanpa ada dendam, itu lebih ia butuhkan ketimbang hanya menumpuk sampah sakit hati.



Setiap anak itu, bagai selembar kertas yang masih putih bersih, saat noda tertempel padanya, maka kesan yang nampak bukan indahnya kertas yang bersih, melainkan kertas tak terpakai yang layak buang. Sedang bila yang tertuang adalah tinta warna warni yang indah, maka ia akan disebut maha karya. 😊 Jadi, layakkah kita yang serba banyak kurangnya ini, mengotori anak kita dengan berbagai kalimat yang tidak baik? ataukah seharusnya kita hujani ia dengan berbagai doa yang akan menjadikannya seseorang yang penuh dengan kemuliaan?.

Salam hangat buat seluruh ibu yang memiliki anak-anak dengan umur yang tertaut sedikit. I'm proud of you. Being taft! 


Istana Mimpi Alza, Mei 2017

😊⚘

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN RASA GAMES LEVEL 5 KELAS BUNSAY #2 KOORDI IIP by. Defi Sulistyana “Yang Tak Terlupakan” Bismillaah, Ramadhan seakan ...